Jumat, 18 November 2011

Tradisi Nyadar


BAB II
PEMBAHASAN
Tradisi nyadar merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat desa Pinggir papas dan saronggi (khususnya Kebun Dadap) terhadap leluhurnya yang telah banyak berjasa memberikan pengetahuan mengenai tatacara pembuatan garam dan memberi jalan hidup. Didalam tradisi nyadar banyak memiliki keunikan sehingga sangat bagus sekali apabila dijadikan alternatif objek wisata di Kabupaten Sumenep Tujuan penelitian ini adalah mengkaji secara mendalam asal usul, keunikan dan usaha masyarakat menjadikan upacara nyadar sebagai alternatif objek wisata budaya di Kabupaten Sumenep.
Asal usul tradisi nyadar sebagai upaya penghormatan kepada leluhur. Keunikan upacara nyadar terletak pada upacara dan proses upacara. Pelaksanaanya ialah nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebun Dadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir Papas Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini. pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jati Suara. Cerita Jatiswara ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Asal-Usul Upacara Nadar
Ada seorang penduduk yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan asta Buju’ Nyadar bernama Mathor mengatakan bahwa Pada  zaman  pertengahan, ada seorang  mubaligh  Islam  bernama  Syekh Anggasuto, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Emba Anggasuto datang ke Sumenep. Beliau berasal dari Cirebon, Jawa Barat, yang sebelumnya dikabarkan berasal dari negara Arab/Persi. Tujuan kedatangan beliau ke Sumenep terutama untuk menyebarkan agama Islam.Asal mula Nyadar menurut Anggasuto ialah, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Anggasuto diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek (lecak, leddhuk), hingga setiap langkahnya terlihat dan terbentuk bekas tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut. Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu terlihat dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hatinya. Apa gerangan benda putih tersebut? Apakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra). Akhirnya, benda itu kemudian oleh Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura itu untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah. ”Ini berarti garam merupakan temuan Anggasuto“.[1] Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia dipenjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam
Dari peristiwa  ini Syekh Angga Suto  mengajarkan  kepada  masyarakat  Desa Pinggir  Papas mengenai  cara membuat  garam.  Akhirnya  kebiasaan  membuat garam  terus  dilaksanakan sampai  sekarang. Masyarakat Sumenep  menjadi terkenal sebagai  penghasil garam.
Pada  perkembangan  selanjutnya,  untuk  menghargai  jasa  para  leluhur dalam membuat  garam  tersebut, masyarakat  Sumenep  selalu  mengadakan upacara selamatan atau syukuran atas panen garam yang membawa nikmat. Upacara ini disebut upacara nyadar atau nadar.
Tujuan Upacara Nadar
Tujuan  upacara  nadar  ialah  mengirim  doa  kepada  leluhurnya  karena dianggap  sebagai  orang  pertama yang  menurunkan  kepandaian  membuat garam  kepada  masyarakat  Sumenep.  Setiap  bulan  Maulud, sebelum  hasil garam  dipanen,  secara  rutin  diadakan  upacara  nadar  untuk  mengenang, menghargai, dan menghormati arwah leluhur. Selain itu, tujuan upacara ini adalah siar  agama  Islam.  Hal  ini  terlihat  dari adanya  bagian  upacara  yang berupa pembacaan naskah-naskah kuno. Naskah ini berisi ajaran Islam yang dapat dijadikan tuntutan hidup sehari-hari.
Persiapan Sebelum Upacara Nadar
Untuk  menyambut  upacara  nadar,  biasanya  masyarakat  Pinggir  Papas melakukan persiapan, seperti melakukan rapat kampung yang terdiri dari sesepuh-sesepuh desa. Pada kesempatan ini mereka membicarakan segala se-suatu yang  berhubungan  dengan  upacara  nadar,  terutama  mempersiapkan benda-benda pusaka yang akan digunakan pada saat upacara nadar.
Benda-benda  pusaka  ini  dikeluarkan  satu  kali  setahun  setiap  perayaan upacara   nadar.   Sebelum   dipakai  benda-benda   tersebut   dibersihkan   dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melakukan puasa agar upacara berjalan  dengan  lancar.  Benda-benda  pusaka  itu  antara  lain  berupa  tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nadar disiapkan pula piring  keramik  besar  yang  disebut  panjang. Piring  ini digunakan  sebagai wadah makanan.
Pelaksanaan Upacara
Upacara nadir dilaksanakan hingga tiga kali dalam setahun. Upacara nadar pertama dilakukan sekitar bulan Juni. Pada saat itu diperkirakan sudah saatnya melepas air tua, yaitu air yang kadar garamnya tinggi sebagai bahan  utama  untuk  membuat garam.  Pada  bulan  Juni  ini petani  garam  sudah mulai memanen garamnya. Setelah panen garam dilakukan dua hingga tiga kali sampai pada bulan Juli, upacara nadar kedua mulai dilaksanakan yang jatuh  pada bulan Agustus. Pada bulan ini panen  garam masih  berlangsung. Ketika  panen  garam  sudah  mulai  berakhir,  yaitu  pada  bulan  September, upacara  ketiga  mulai dilaksanakan.  Pada  bulan  ini  musim  kemarau  sudah mulai berakhir sehingga masyarakat Pinggir Papas mulai menyambut musim hujan dan bersiap-siap untuk mengganti lahan garam menjadi lahan tambak ikan.
Tempat upacara
Pada dasarnya upacara nadar dilaksanakan pada tempat-tempat yang ada hubungannya dengan leluhur mereka yang telah menurunkan kepandaian membuat garam. Upacara nadar pertama dan kedua dilaksanakan di makam leluhur Syekh Anggasuto. Masyarakat yang bertempat tinggal di Sumenep pada umumnya sangat menghormati makam-makam leluhur mereka. Hal ini terlihat dari sikap mereka pada waktu ziarah ke makam-makam leluhur. Setiap pengunjung  harus  melepas  sandal,  setelah  masuk  makam  kemudian duduk di samping makam dengan sopan untuk mengirim doa kepada leluhur. Mereka percaya bahwa barang siapa yang tidak menghargai makam para leluhur, akan celaka  dan  selalu  mendapat  musibah. Upacara nadar ketiga dilaksanakan dirumah bekas kediaman Syekh Anggasuto. Bagi masyarakat Madura, rumah bekas kediaman para leluhur dianggap sakral dan harus dijaga  dengan  baik. Di rumah-rumah leluhur ini semua barang pusaka milik desa disimpan.
Benda-benda dan alat upacara
Ada beberapa benda dan alat tertentu yang dipergunakan untuk upacara nadar  pertama,  kedua,  dan  ketiga. Keberadaan  benda-benda  dan  alat  ini dalam upacara nadar merupakan suatu keharusan karena sangat menentukan berhasil dan tidaknya upacara.
Perlengkapan upacara pertama dan kedua sama, yaitu bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Pada na- dar ketiga benda-benda dan alat-alat upacara lebih kompleks lagi. Ada yang disebut    panjang  ,  yaitu  piring  keramik  asing  yang dipergunakan  sebagai wadah makanan yang harus diletakkan di atas panjang, yaitu nasi, telur, dan bandeng.  Piring  keramik  yang  disebut  panjang  merupakan  piring  yang  di- wariskan  secara  turun-temurun.  Piring  ini dianggap  sakral  oleh  setiap  ang- gota keluarga dan tabu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, kecuali un- tuk  upacara  nadar.  Mereka  percaya  bahwa  anggota  keluarga  yang  berani mengeluarkan panjang atau menjualnya akan mendapat celaka.
Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah naskah-naskah kuno. Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah  ratusan  tahun.  Naskah  kuno  ini  pun  hanya  dikeluarkan satu  tahun sekali,  yaitu  pada  saat  upacara  pembacaan  naskah  dalam  upacara  nadar ketiga. Pembacaan naskah secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka.   Naskah-naskah   tersebut   adalah   naskah  sampurna   sembah dan naskah jatiswara. Pada saat upacara, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang  isinya berupa ajaran-ajaran  Islam sehingga dapat di- jadikan panutan dalam hidup sehari-hari.
Benda-benda lain yang digunakan adalah tombak dan keris. Benda ini merupakan  pelengkap  sarana upacara  dan  hanya  dikeluarkan  pada  saat upacara nadar ketiga. Menurut mereka, benda-benda ini mempunyai kekua- tan  gaib  dan  harus  diperlakukan  secara  hati-hati.  Keris  dan  tombak  meru- pakan senjata  yang  mereka  peroleh  dari  leluhur.  Mereka  hormat  terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama yang boleh membawa  dan  mengeluarkan  benda-benda  ini  dari  tempat  penyimpanan. Benda-benda  ini  juga  disimpan  di  rumah  bekas  kediaman  leluhur.  Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan adalah bokor, pakinangan, dan kendi sebagai tempat air suci.
Pada upacara nadar ketiga, seorang dukun (pembaca doa) mengenakan pakaian  khusus  yang  hanya  dikenakan  setahun  sekali.  Pakaian  khusus  ini disebut racuk  sewu. Wujud  pakaian  adalah  berlengan  pendek dan  divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat dan bintik-bintik merah, hi- tam, dan krem. Baju ini dilengkapi dengan blangkon atau tutup kepala dan sarung. Racuk sewu disimpan di rumah bekas kediaman leluhur dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar. Setelah upacara selesai pakaian racuk sewu tersebut disimpan kembali.
Proses Upacara
Upacara nadar pertama disebut upacara tabur bunga. Upacara nadar per- tama jatuh pada bulan Juni dan bertepatan dengan hari Jumat. Upacara dimu- lai  pada  sore  hari  sekitar  pukul  16.00  WIB.  Hampir  seluruh  masyarakat Pinggir  Papas  pergi  menuju  makam  leluhur  yang  terletak  di  Desa  Kebun Dadap. Mereka datang dengan membawa perlengkapan upacara yang dibu- tuhkan seperti kembang setaman untuk upacara tabur bunga dan selamatan. Setelah  sampai  di  pemakaman,  para  pemuka  adat  utama  sekitar  40  orang dengan  mengenakan  pakaian  adat  berupa  jubah  hitam,  melakukan  upacara tabur  bunga di  makam leluhur, di antaranya  Syekh Angga Suto yang  telah berjasa mengajarkan cara membuat garam. Upacara tabur bunga dilanjutkan dengan  membacaan  doa  yang  dipimpin  oleh  pemuka  adat  pertama  dengan memakai jubah putih.
Setelah pemuka adat selesai mengadakan upacara tabur bunga dan doa, barulah semua masyarakat yang hadir secara bergilir melakukan doa di de- pan makam leluhur tanpa melakukan tabur bunga lagi. Setelah upacara sele- sai,  mereka  harus  menginap  di  sekitar  makam  leluhur.  Biasanya  mereka menginap  di  rumah-rumah  penduduk  sekitar  makam.  Pada  saat  itu  mereka memasak berbagai jenis makanan yang dibutuhkan untuk upacara selamatan esok harinya. Makanan yang dihidangkan saat itu adalah nasi, lauk ayam, te- lur, dan bandeng. Setelah selesai upacara, sisa makanan dibawa pulang dan dibagikan kepada tetangga yang tidak mampu atau tidak hadir saat upacara.
Upacara nadar kedua dilaksanakan sekitar bulan Agustus. Upacara na- dar  kedua  pada  prinsipnya  sama dengan  upacara  nadar  pertama.  Tempat upacaranya pun sama dengan upacara nadar pertama.
Upacara  nadar  ketiga  dilaksanakan  sekitar  bulan  September.  Upacara dilaksanakan di bekas kediaman Syekh Angga Suto. Alasan dilaksanakan di tempat tersebut adalah sebagai upacara sekaran di bekas kediaman leluhur. Upacara ini dimulai dengan pembacaan doa oleh ketua adat dan diamini oleh peserta upacara.  Setelah  itu,  dilanjutkan  pembacaan  naskah  Jati  Swara  dan Sampurna  Sembah.  Kedua  naskah tersebut  dituliskan  di  atas  daun  lontar yang terus dipelihara hingga saat ini.
Keesokan  harinya  dilakukan  upacara  selamatan  yang  disebut  upacara rasulan. Pada kesempatan ini para peserta upacara membawa makanan yang diletakkan  di  atas  piring  keramik  (panjang).  Pada  makanan dibacakan  doa kemudian dimakan bersama-sama di tempat upacara. Pada umumnya peserta upacara hanya memakan sedikit dan sisanya dibawa pulang. Makanan yang tersisa dibagikan kepada para tetangga yang tidak  mampu dan  anggota ke- luarga yang tidak hadir pada saat upacara. Tujuannya agar mendapat berkah dari upacara tersebut.




[1] Hasil wawancara dengan Mathor penduduk setempat (sesepuh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar