BAB II
PEMBAHASAN
Tradisi nyadar merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat desa Pinggir papas dan saronggi (khususnya Kebun Dadap) terhadap leluhurnya yang telah banyak berjasa memberikan pengetahuan mengenai tatacara pembuatan garam dan memberi jalan hidup. Didalam tradisi nyadar banyak memiliki keunikan sehingga sangat bagus sekali apabila dijadikan alternatif objek wisata di Kabupaten Sumenep Tujuan penelitian ini adalah mengkaji secara mendalam asal usul, keunikan dan usaha masyarakat menjadikan upacara nyadar sebagai alternatif objek wisata budaya di Kabupaten Sumenep.
Asal usul tradisi nyadar sebagai upaya penghormatan kepada leluhur. Keunikan upacara nyadar terletak pada upacara dan proses upacara. Pelaksanaanya ialah nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebun Dadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir Papas Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini. pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jati Suara. Cerita Jatiswara ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Asal-Usul Upacara Nadar
Ada seorang penduduk yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan asta Buju’ Nyadar bernama Mathor mengatakan bahwa Pada zaman pertengahan, ada seorang mubaligh Islam bernama Syekh Anggasuto, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Emba Anggasuto datang ke Sumenep. Beliau berasal dari Cirebon, Jawa Barat, yang sebelumnya dikabarkan berasal dari negara Arab/Persi. Tujuan kedatangan beliau ke Sumenep terutama untuk menyebarkan agama Islam.Asal mula Nyadar menurut Anggasuto ialah, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Anggasuto diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek (lecak, leddhuk), hingga setiap langkahnya terlihat dan terbentuk bekas tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut. Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu terlihat dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hatinya. Apa gerangan benda putih tersebut? Apakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra). Akhirnya, benda itu kemudian oleh Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura itu untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah. ”Ini berarti garam merupakan temuan Anggasuto“.[1] Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia dipenjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam
Dari peristiwa ini Syekh Angga Suto mengajarkan kepada masyarakat Desa Pinggir Papas mengenai cara membuat garam. Akhirnya kebiasaan membuat garam terus dilaksanakan sampai sekarang. Masyarakat Sumenep menjadi terkenal sebagai penghasil garam.
Pada perkembangan selanjutnya, untuk menghargai jasa para leluhur dalam membuat garam tersebut, masyarakat Sumenep selalu mengadakan upacara selamatan atau syukuran atas panen garam yang membawa nikmat. Upacara ini disebut upacara nyadar atau nadar.
Tujuan Upacara Nadar
Tujuan upacara nadar ialah mengirim doa kepada leluhurnya karena dianggap sebagai orang pertama yang menurunkan kepandaian membuat garam kepada masyarakat Sumenep. Setiap bulan Maulud, sebelum hasil garam dipanen, secara rutin diadakan upacara nadar untuk mengenang, menghargai, dan menghormati arwah leluhur. Selain itu, tujuan upacara ini adalah siar agama Islam. Hal ini terlihat dari adanya bagian upacara yang berupa pembacaan naskah-naskah kuno. Naskah ini berisi ajaran Islam yang dapat dijadikan tuntutan hidup sehari-hari.
Persiapan Sebelum Upacara Nadar
Untuk menyambut upacara nadar, biasanya masyarakat Pinggir Papas melakukan persiapan, seperti melakukan rapat kampung yang terdiri dari sesepuh-sesepuh desa. Pada kesempatan ini mereka membicarakan segala se-suatu yang berhubungan dengan upacara nadar, terutama mempersiapkan benda-benda pusaka yang akan digunakan pada saat upacara nadar.
Benda-benda pusaka ini dikeluarkan satu kali setahun setiap perayaan upacara nadar. Sebelum dipakai benda-benda tersebut dibersihkan dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melakukan puasa agar upacara berjalan dengan lancar. Benda-benda pusaka itu antara lain berupa tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nadar disiapkan pula piring keramik besar yang disebut panjang. Piring ini digunakan sebagai wadah makanan.
Pelaksanaan Upacara
Upacara nadir dilaksanakan hingga tiga kali dalam setahun. Upacara nadar pertama dilakukan sekitar bulan Juni. Pada saat itu diperkirakan sudah saatnya melepas air tua, yaitu air yang kadar garamnya tinggi sebagai bahan utama untuk membuat garam. Pada bulan Juni ini petani garam sudah mulai memanen garamnya. Setelah panen garam dilakukan dua hingga tiga kali sampai pada bulan Juli, upacara nadar kedua mulai dilaksanakan yang jatuh pada bulan Agustus. Pada bulan ini panen garam masih berlangsung. Ketika panen garam sudah mulai berakhir, yaitu pada bulan September, upacara ketiga mulai dilaksanakan. Pada bulan ini musim kemarau sudah mulai berakhir sehingga masyarakat Pinggir Papas mulai menyambut musim hujan dan bersiap-siap untuk mengganti lahan garam menjadi lahan tambak ikan.
Tempat upacara
Pada dasarnya upacara nadar dilaksanakan pada tempat-tempat yang ada hubungannya dengan leluhur mereka yang telah menurunkan kepandaian membuat garam. Upacara nadar pertama dan kedua dilaksanakan di makam leluhur Syekh Anggasuto. Masyarakat yang bertempat tinggal di Sumenep pada umumnya sangat menghormati makam-makam leluhur mereka. Hal ini terlihat dari sikap mereka pada waktu ziarah ke makam-makam leluhur. Setiap pengunjung harus melepas sandal, setelah masuk makam kemudian duduk di samping makam dengan sopan untuk mengirim doa kepada leluhur. Mereka percaya bahwa barang siapa yang tidak menghargai makam para leluhur, akan celaka dan selalu mendapat musibah. Upacara nadar ketiga dilaksanakan dirumah bekas kediaman Syekh Anggasuto. Bagi masyarakat Madura, rumah bekas kediaman para leluhur dianggap sakral dan harus dijaga dengan baik. Di rumah-rumah leluhur ini semua barang pusaka milik desa disimpan.
Benda-benda dan alat upacara
Ada beberapa benda dan alat tertentu yang dipergunakan untuk upacara nadar pertama, kedua, dan ketiga. Keberadaan benda-benda dan alat ini dalam upacara nadar merupakan suatu keharusan karena sangat menentukan berhasil dan tidaknya upacara.
Perlengkapan upacara pertama dan kedua sama, yaitu bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Pada na- dar ketiga benda-benda dan alat-alat upacara lebih kompleks lagi. Ada yang disebut panjang , yaitu piring keramik asing yang dipergunakan sebagai wadah makanan yang harus diletakkan di atas panjang, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Piring keramik yang disebut panjang merupakan piring yang di- wariskan secara turun-temurun. Piring ini dianggap sakral oleh setiap ang- gota keluarga dan tabu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, kecuali un- tuk upacara nadar. Mereka percaya bahwa anggota keluarga yang berani mengeluarkan panjang atau menjualnya akan mendapat celaka.
Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah naskah-naskah kuno. Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah ratusan tahun. Naskah kuno ini pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali, yaitu pada saat upacara pembacaan naskah dalam upacara nadar ketiga. Pembacaan naskah secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka. Naskah-naskah tersebut adalah naskah sampurna sembah dan naskah jatiswara. Pada saat upacara, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga dapat di- jadikan panutan dalam hidup sehari-hari.
Benda-benda lain yang digunakan adalah tombak dan keris. Benda ini merupakan pelengkap sarana upacara dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar ketiga. Menurut mereka, benda-benda ini mempunyai kekua- tan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak meru- pakan senjata yang mereka peroleh dari leluhur. Mereka hormat terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama yang boleh membawa dan mengeluarkan benda-benda ini dari tempat penyimpanan. Benda-benda ini juga disimpan di rumah bekas kediaman leluhur. Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan adalah bokor, pakinangan, dan kendi sebagai tempat air suci.
Pada upacara nadar ketiga, seorang dukun (pembaca doa) mengenakan pakaian khusus yang hanya dikenakan setahun sekali. Pakaian khusus ini disebut racuk sewu. Wujud pakaian adalah berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat dan bintik-bintik merah, hi- tam, dan krem. Baju ini dilengkapi dengan blangkon atau tutup kepala dan sarung. Racuk sewu disimpan di rumah bekas kediaman leluhur dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar. Setelah upacara selesai pakaian racuk sewu tersebut disimpan kembali.
Proses Upacara
Upacara nadar pertama disebut upacara tabur bunga. Upacara nadar per- tama jatuh pada bulan Juni dan bertepatan dengan hari Jumat. Upacara dimu- lai pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Hampir seluruh masyarakat Pinggir Papas pergi menuju makam leluhur yang terletak di Desa Kebun Dadap. Mereka datang dengan membawa perlengkapan upacara yang dibu- tuhkan seperti kembang setaman untuk upacara tabur bunga dan selamatan. Setelah sampai di pemakaman, para pemuka adat utama sekitar 40 orang dengan mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam, melakukan upacara tabur bunga di makam leluhur, di antaranya Syekh Angga Suto yang telah berjasa mengajarkan cara membuat garam. Upacara tabur bunga dilanjutkan dengan membacaan doa yang dipimpin oleh pemuka adat pertama dengan memakai jubah putih.
Setelah pemuka adat selesai mengadakan upacara tabur bunga dan doa, barulah semua masyarakat yang hadir secara bergilir melakukan doa di de- pan makam leluhur tanpa melakukan tabur bunga lagi. Setelah upacara sele- sai, mereka harus menginap di sekitar makam leluhur. Biasanya mereka menginap di rumah-rumah penduduk sekitar makam. Pada saat itu mereka memasak berbagai jenis makanan yang dibutuhkan untuk upacara selamatan esok harinya. Makanan yang dihidangkan saat itu adalah nasi, lauk ayam, te- lur, dan bandeng. Setelah selesai upacara, sisa makanan dibawa pulang dan dibagikan kepada tetangga yang tidak mampu atau tidak hadir saat upacara.
Upacara nadar kedua dilaksanakan sekitar bulan Agustus. Upacara na- dar kedua pada prinsipnya sama dengan upacara nadar pertama. Tempat upacaranya pun sama dengan upacara nadar pertama.
Upacara nadar ketiga dilaksanakan sekitar bulan September. Upacara dilaksanakan di bekas kediaman Syekh Angga Suto. Alasan dilaksanakan di tempat tersebut adalah sebagai upacara sekaran di bekas kediaman leluhur. Upacara ini dimulai dengan pembacaan doa oleh ketua adat dan diamini oleh peserta upacara. Setelah itu, dilanjutkan pembacaan naskah Jati Swara dan Sampurna Sembah. Kedua naskah tersebut dituliskan di atas daun lontar yang terus dipelihara hingga saat ini.
Keesokan harinya dilakukan upacara selamatan yang disebut upacara rasulan. Pada kesempatan ini para peserta upacara membawa makanan yang diletakkan di atas piring keramik (panjang). Pada makanan dibacakan doa kemudian dimakan bersama-sama di tempat upacara. Pada umumnya peserta upacara hanya memakan sedikit dan sisanya dibawa pulang. Makanan yang tersisa dibagikan kepada para tetangga yang tidak mampu dan anggota ke- luarga yang tidak hadir pada saat upacara. Tujuannya agar mendapat berkah dari upacara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar