Minggu, 20 November 2011

Sudut Pandangan Aliran Teologi


Sudut Pandangan Teologi
Latar Belakang Pemikiran
Pendidikan Islam tidak terlepas sudut pandangan teologi, misalnya saja aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah. Ketiga aliran tersebut dalam asumsi pemakalah telah menyumbangkan ide-ide dalam pembinaan pendidikan Islam.
Kreasi-kreasi keilmuan dalam pendidikan Islam adalah wajah dari aliran Qadariyah, karena memberikan kebebasan manusia untuk berbuat disebabkan oleh adanya potensi akal yang menjadi pemacu dalam membuat ide-ide pemikiran yang positif. Di lain sisi, aliran Jabariyah yang berseberangan dengan Qadariyah, tidak hanya dibiarkan begitu saja. Walaupun aliran tersebut berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, semuanya terpasung oleh kekuasaan mutlak Tuhan, namun ajarannya tentang kemakhlukan al-Quran dalam perspektif penididkan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari firman Tuhan.
Kedua aliran tersebut, cara pandangnya memperoleh titik terang melalui pemaduan dengan lahirnya aliran Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, dalam  kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.
Aliran Qadariyah mempunyai paham bahwa manusia bebas berbuat dan berkehendak serta berpikir untuk menciptakan perbuatannya sesuai kemampuannya. Dalam konteks pendidikan Islam, sangat relevan karena dunia pendidikan Islam membutuhkan pemikiran dan penalaran untuk menciptakan kreasi-kreasi ilmu pendidikan Islam.
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian , akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[1]
Aliran-aliran tersebut terkait juga dengan pendidikan Islam, bagaimana pendidikan Islam produktivitasnya maju atau mundur tergantung kepada pemahaman dan pemikiran yang dimiliki. Tidak dapat diingkari bahwa pendidikan Islam adalah bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan, yang titik fokusnya adalah manusia. Karena itu, tujuan akhirnya harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya.[2]
Berangkat dari pemahaman secara etimologi pada hakekatnya pendidikan Islam tak dapat dilepaskan hubungannya dari al-Quran-khaliq, sang maha pencipta. Konsep tarbiyah, ta’lim maupun ta’dib yang dijadikan rujukan pemaknaan dan penyusunan konsep pendidikan Islam semuanya mengacu kepada sumber utamanya, yaitu Allah.[3]
Dengan demikian, konsep pendidikan Islam dalam pengertian seutuhnya hanya mungkin disusun atas dasar hubungan dimaksud. Konsep pendidikan Islam yang hakiki terkait erat dengan nilai-nilai yang termuat dalam wahyu.
Wahyu atau al-Quran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, mencakup segala-galanya, timbul dari sifat al-Quran sebagai wahyu; kitab yang mengandung firman Tuhan yang dikirimkanya kepada manusia melalui  Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk dan pegangan, baik didunia sekarang maupun di akhirat nanti.[4]
Al-Quran berpotensi memberikan penafsiran yang berbeda-beda dalam memandang sesuatu, katakanlah seperti “manusia” yang di sisi lain mempunyai kekuatan sendiri dalam bertindak, sementara di lain tempat, “manusia” hanya terpaksa dalam melaksanakan sesuatu, sesuatu, karena semuanya sudah diskenario oleh Khaliknya. Hal ini yang mengilhami lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, misalnya aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah, dan aliran lainnya.
Pemakalah menilai bahwa aliran-aliran tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pendalaman dan pengkajian keislaman. Aliran Qadariyah dan Jabariyah merupakan dua aliran yang saling berseberangan dalam memahami “kemampuan manusia”, namun harus diakui bahwa walaupun cara pandang kedua aliran ini berbeda, tapi pada sasarannya hal tersebut tidak mengurangi nilai dari ajaran Islam yang fleksibel. Kedua aliran tersebut ditengahi oleh Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa kekuatan manusia tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan, artinya manusia menjadi berkepribadian yang Islami tidak terlepas dari usaha manusia dan tuntunan Tuhan.
Dikaitkan dengan pendidikan Islam, ternyata aliran-aliran tersebut perlu dikaji dan ditelaah, karena sedikit banyanya memberi sumbangan pemikiran dalam pendidikan Islam. Dicermati pendidikan Islam itu merupakan pencerdasan akal dan budi yang terkait dengan pembinaan manusia. Manusia memiliki kudrah atau potensi yang harus dikembangkan, namun perkembangannya tetap memperhatikan pengaruh-pengaruh luar disamping pengaruh yang sudah dibawa sejak lahir.
Jadi aliran-aliran dalam teologi memandang pendidikan Islam bertautan dengan aliran-aliran tersebut, mengingat pendidikan Islam dan aliran-aliran teologi merupakan ajaran Islam yang harus dikaji dan didalami. Aliran-aliran teologi prinsipnya melahirkan konsep-konsep pendidikan yang sangat bermakna.
Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, pemakalah dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pandangan aliran Qadariyah, aliran  Jabariyah   serta aliran Asy’ariyah terhadap pendidikan Islam ?
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Aliran Qadariyah Terhadap Pendidikan Islam
Ada suatu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran pemakalah yaitu “apakah pendidikan Islam menganut teori kebebasan berpikir ? Menarik buat pemakalah, karena di dunia modern dewasa ini muncullah teori-teori kebebasan. Misalnya kebebasan berpolitik, berteologi, berpakaian, berpendidikan, dan lain-lain.
Dianalisa dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif. Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Di dunia Barat kebebasan menjadi hal yang biasa-biasa saja, padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu.
Pemikiran pendidikan Islam adalah suatu kewajaran yang ditopang oleh pandangan aliran teologis, contoh aliran Qadariyah. Aliran ini memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena aliran Qadariyah memiliki alas an-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran.
Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan pahamnya tentang manusia yang bebas, kemajuan yang begitu pesat dalam bidang politik tidak akan tercapai. Negara yang berasal di Madinah itu hanya akan merupakan Negara padang pasir tak ada artinya dan tidak menjadi Negara adikuasa yang besar pengaruhnya pada dunia zaman ini.
Kebangkitan pendidikan Islam tidak terlepas dari munculnya mutakallimin dengan wajah “keilmuan kalamnya”. Menurut Harun Nasution ilmu kalam lebih tepat dinamakan ilmu keislaman.[5]
Telah dimaklumi bersama bahwa aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurutnya pula manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa disebut dengan free will dan free act.[6] Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini diperkuat oleh aliran mu’tazilah.
Yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
Sifat rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan. Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan sengaja.[7]
Pengaruh aliran Qadariyah terhadap pendidikan Islam, bila dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan Qadariyah, misalnya Ibnu Sina, al-Muwardi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya, menunjukkan bahwa pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai factor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada era globalisasi sekarang ini. Pendidikan Islam sangat diharapkan menjadi bidang strategis pendamping IPTEK dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian di bumi ini.
Paham qadariyah yang mewarnai pendidikan menurut Ibnu Sina misalnya dalam hal perumusan tujuan pendidikan yang mengarah pada pengembangan potensi dalam upaya pencapaian kesempurnaannya,[8] kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.[9] Penggunaan metode secara multi metode, dengan atas pertimbangan pesiologis peserta didik.[10] Pendidikan yang ditawarkan Ibnu Sina, antara lain berkisar tentang guru yang baik yakni berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari olok-olok dan bermain-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci murni.[11]
Menurut pemakalah aliran empirisme adalah suatu aliran pendidikan yang menonjolkan faktor lingkungan yang paling dominan dampaknya terhadap proses perkembangan manusia yang diilhami oleh pandangan  Qadariyah. Sebab secara kronologisnya jauh sebelum aliran empirisme muncul ternyata aliran Qadariyah telah ada.
Salah satu kesalahan pendidikan yang telah dipraktekkan para pendidik terdahulu yaitu peserta didik diibaratkan belanga kosong yang senantiasa siap diisi sesuka hati pendidik, sehingga terjadi kefakuman dalam pembelajaran, yang akhirnya akan melahirkan robot-robot yang siap menunggu instruksi dari majikan yang tidak kreatif dam mandiri. Padahal yang berhaluan Qadariyah sangat tidak sepaham dengan suasana demikian.
Uraian-uraian di atas melahirkan pemahaman bahwa aliran Qadaryiah telah memberikan peluang yang sangat bermakna terhadap kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, karena adanya kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk berbuat.
B.     Pandangan Jabariyah Tentang Pendidikan Islam
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabaiyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[12]
Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideologi pendidikan yang disebut konservatisme oleh O’neil dan Giroux. Aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap actual dan relevan, sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini sangat sejalan dengan theology jabariah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan social. Semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Bagi penganut paham ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan melakukan konfik, dalam bahasa agama selalu bersifat qanaah.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
Pandangan Jabariyah membingkai aliran nativisme yang menganggap factor pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan oleh factor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa factor-faktor eksternal seperti pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan kehidupan manusia.[13]
Paham ini sudah tentu kurang dapat dipertanggungjawabkan bilamana dilihat dari realitas hidup manusia sebagi anggota masyarakat. Karena manusia sebagai makhluk social tidak dapat menghindari diri dari pengaruh yang bersifat timbale balik antara individu satu dari yang lainnya.
Pendapat demikian di dunia kependidikan modern sekarang telah banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan hidup bahwa dimanapun manusia berada, di situ pula memerlukan proses pendidikan, baik formal maupun non formal. Proses kependidikan pada hakikatnya adalah usaha ikhtiar untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk keperibadian dan tingkah laku, sehingga sesuai dengan tujuan hidup manusia yang dicita-citakan.
Dalam pandangan Islam jelas bahwa manusia tidak saja dipandang sebagai makhluk ideal dan structural, tetapi juga diletakkan pada posisi potensial dalam proses perkembangannya, di mana nilai etis dan normative sangat menentukan keberhasilan proses tersebut. Manusia bukanlah makhluk instrumental yang relativitas seperti robot.
Pandangan Jabariyah dengan kemutlakan Tuhan dalam segala-galanya mencerminkan menusia tidak punya daya apa, semuanya ditangan Tuhan. Tuhan telah memasung manusia atas kemutlakannya. Akan tetapi dalam dunia pendidikan Islam kemakhlukan al-Quran menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.
C.    Pandangan Asy’ariyah Tentang Pendidikan Islam
Banyak pendapat yang muncul sekitar keluarnya al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Namun yang jelas bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran itu tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berfikirnya.[14]
Kemungkinan lain karena al-Asy’ari ingin menjadi perantara antara golongan tekstualis (seperti ahli hadis anthromorphist yang hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan golongan rasionalis seperti aliran Mu’tazilah, dan tenyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[15] Inilah beberapa faktor berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian membentuk satu paham teologi yang dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah.
W. Montgomery Watt, mengatakan bahwa segi positif dari berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah diterimanya dogma kaum sunni dalam lingkup mazhap hambali. Al-Asy’ari kemudian membaktikan sisa hidupnya pada pembelaan intelektual terhadap posisi sunni. Masa ini dikenal sebagai konsolidasi paham sunni dalam arti bahwa ada sekelompok besar orang-orang yang telah menolak doktrin-doktrin semacam Mu’tazilah dan menerima dogma-dogma paham sunni.
Paham Asy’ariyah muncul pada saat perdebatan sengit antara Qadariyah dan Jabariyah yang mempertentangkan berbagai aspek kehidupan manusia terutama dalam persoalan keyakinan. Keduanya mengambil jalan masing-masing untuk menetapkan kebenaran berdasarkan sumber keyakinan mereka. Sehingga paham ini tampil untuk mengambil jalan tengah di antara keduanya, akhirnya terbentuk sebuah sebuah paham tersendiri.
Al-Asy’ari adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang berupaya mempertemukan paham Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu aliran ini semakin popular dan bahkan mudah diterima sebagai rumusan  pokok ajaran agama ( ushul al-din) yang sah atau ortodoks di seluruh dunia Islam sampai saat ini hampir tanpa terkecuali.[16]
Dalam perkembangan kemudian paham Asy’ariyah dianut oleh kebanyakan masyarakat, setelah kondisi kekuatan paham Qadariyah yang dianut oleh aliran Mu’tazilah melemah, khalifah Al-Mutawakkil pada masa Dinasti Abbasiyah, menghapuskannya sebagai aliran teologi resmi yang dianut oleh Negara sebagaimana khalifah sebelumnya. Maka jadilah paham Asy-ariyah berkembang di masyarakat umum. Bahkan akhirnya paham Asy’ariyah mampu menghegemoni kehidupan dunia Islam hingga dewasa ini. Tidak sedikit pengaruh ini larut dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam persoalan pendidikan, khususnya dalam kontes kekinian.
Kondisi pendidikan sekarang ini khususnya pendidikan Islam, sangat dipengaruhi oleh paham ini. Ketika paham ini memandang bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki potensi atau yang disebut fitrah, dalam bahasa teologi adalah daya atau kemampuan yang Tuhan berikan untuk bekal hidup di dunia, sehingga manusia dapat melakukan aktifitas kehidupan. Meskipun pada awalnya daya tersebut diciptakan Tuhan namun ada intervensi manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga hal inilah yang warnai kondisi pendidikan Islam.
Pemakalah berasumsi bahwa aliran Asy’ariyah melahirkan hokum konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern yaitu suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar dan faktor-faktor lingkungan yang disengaja. Dengan kata lain, manusia ditentukan perkembangannya oleh faktor dasar dan faktor ajar, yang satu sama lain saling mempengaruhi secara interaktif. Namun dalam Islam penamaan tersebut terkenal dengan fitrah, dalam artian manusia lahir dengan membawa potensi kebaikan semata, lingkunganlah yang membentuknya.
Menurut pemakalah di sinilah lembaga pendidikan dengan segala kelengkapannya harus benar-benar berfungsi dengan efektif dan efisien, maka jelaslah kedua aliran tersebut yaitu emperisme dan nativisme harus bergandengan tangan membuat konvigurasi yang rilex dan saling mendukung dalam pembentukan kepribadian manusia.
Bertolak dari paham tersebut, maka pendidikan Islam memandang manusia sebagai obyek dan subyek pada pendidikan, yang dapat mendidik dan didik (homo educandum). Manusia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang melalui potensi pendidikan. Manusia di samping memiliki daya yang diciptakan Tuhan untuknya, namun manusia memiliki pula kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, melalui proses pendidikan. Sehingga ada ungkapan mengatakan. “ Hidup di tangan Tuhan, tetapi kehidupan di tangan manusia”
Manusia sebagai mahluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumberdaya insaniya itu, manusia diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai mahluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yakni nilai ilahiyat. Disatu sisi, ia memiliki kebebasan untuk memilih arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).[17]
Pandangan As’ariyah yang telah dijabarkan di atas telah memberikan pemikiran-pemikiran terhadap pendidikan Islam. Ternyata otoritas wahyu menjadikan dasar pembinaan watak seseorang, artinya kebebasan yang dimiliki oleh manusia tetap berdasar kepada wahyu. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.
KESIMPULAN
Merujuk dari uraian-uraian di atas, pemakalah dapat menjabarkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan. Dengan begitu, aliran ini memberikan kreasi-kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, melahirkan ideology pendidikan yang liberal, empiris, optimis. Pendidikan Islam secara secara positif diharapkan mengadopsi pemikiran yang demikian, sehingga dapat survive, eksis dan tetap up to date. Pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai faktor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada ere globalisasi sekarang ini.
2. Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi dan perubahan. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideology pendidikan yang disebut konservatisme. Aliran fatalis ini melahirkan aliran nativisme, artinya manusia hanya terpaksa berbuat dan dia mengikuti kehendak Tuhan. Faktor bawaan sangat dominant dalam pembentukan manusia yang sempurna. Walaupun demikian, aliran Jabariyah dengan ajaran kemakhlukan al-Quran dalam perspektif pendidikan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.
3. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai  andil dalam menentukan kehidupannya. Aliran  Asy’ariyah memandang pendidikan Islam, masih perlu adanya perbaikan-perbaikan pada faktor yang terlibat di dalamnya. Karena apa yang ada selama ini sebenarnya sedikit memenuhi persyaratan pendidikan umum, namun pada tataran konsep pendidikan Islam ini sangat ideal. Akan tetapi pada tataran aplikasi masih jauh dari harapan stakeholders sebagai pemakai lulusan. Aliran Asy’ariyah mengilhami aliran konvergensi dalam pembentukan kepribadian seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Imam Muhamad. Aliran politik dan Aqidah dalam Islam. Cet.1; Jakarta: Logos Publising House, 1996.
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam paradikma Humanisme Teosentrime. Cet.1; Pustaka Pelajar; Yogyakarta. 2005.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976.
Dewey,John. Democracy and Education. New York: The Free Press,1966.
Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan (Telaah Tujuan dan Kurikulum Pendidikan). Cet.1; Malang,Kutub Minar, 2005.
Hanafi,Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,1989.
Jalal, Abdul Fatah. Min Ushul al-tarbiyah fi al-Islamiyah. Mesir: Jumhur al-Arabiyah, 1977.
Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mursi, Muhammad Munir. Al-Tarabiyah al-Islamiyah Ushuluha Wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987.
Nasution, Harun.Islam Rasional. Cet. 1;Bandung : Mizan, 1995.
­_______, Theology Islam. Jakarta : Bulan Bintang,1974.
_______, Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan. Cet 5; UI Press: Jakarta, 2002.
Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Cet. 1; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
_______, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Perk. Joe. Selected Readings In The philosophy of Education. Macmillan Publishing Co Inc, New York,1974.
al-Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Roubiczek, Paul. Existentialism for and Against. Cambridge University Press, 1966.
Tapsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cetakan 13; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Tirtaraharja, Umar. Dkk, Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000.
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2011/05/28/pendidikan-islam-dalam-pandangan-qadariyah-jabariyah-dan-asy%E2%80%99ariyah/25/10/2011

Free will dan Predestination

Free will dan Predestination

Oleh: Nizar A. Saputra

Pendahuluan

Konsepsi tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu hebat di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga mengakibatkan pembunuhan terhadap para aktifisnya. Nuansa perdebatan itu pun hingga kini masih terasa. Bahkan, menurut penulis, nuansa itu akan terus terasa dan terus terjadi hingga di jaman yang akan dating

Dalam ranah pemikiran Islam (baca; Ilmu Kalam), perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bias lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bias saja untuk tidak melakukannya. Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah. Sementara yang kedua disebut Jabariyah.

Dalam perkembangannya, kedua aliran tersebut ternyata dijadikan kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Bani Umayyah merupakan contoh yang dapat mendeskripsikan keadaan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literature sejarah peradaban Islam, Bani Umayyah memanfaatkan faham jabariyah untuk melanggengkan kekuasaannya.[1] Sementara paham Qadariyah pada saat itu menguntungkan pihak oposisi, dalam hal ini adalah Bani Abbasiyah. Bani Umayyah tentunya dengan faham Jabariyahnya melakukan berbagai intimidasi bahkan pembunuhan terhadap para pemberontak pemerintahan. Ketika ditanya, mengapa mereka melakukan itu? Mereka akan sangat mudah menjawab, “ini semua bukan atas kehendak kami, melainkan kehendak Tuhan”. Bani Umayyah menjadikan doktrin agama sebagai landasan bagi tindakan mereka.

Disinilah politisasi agama [politik dengan topeng agama] pernah terjadi dalam dunia Islam. Agama dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Mungkin benar apa yang dikatakan George Balandes, agama memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi agama dijadikan sumber terbentuknya institusi yang menciptakan berbagai tata-aturan, sedang pada sisi yang lain ia dapat dijadikan legitimasi bagi berbagai tindakan.[2]

Konsepi tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, faham Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, merupakan factor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah [dalam hal ini maksudnya adalah Mu’tazilah] yang harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.

Benarkah demikian? Pemaparan singkat ini mudah-mudahan bias memberikan gambaran dan jawaban terhadap pertanyaan di atas.

Free-will and Predestination

Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism.[3] Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu (baca; Qadariyah dan Jabariyah), melainkan nilai dan fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran murni (Madzhab).[4]

Menurut kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu’tazilah[5], manusia mempunyaidaya yang besar lagi bebas. Mu’tazilah sebagaimana dikatakan al-Syahratsani, bersepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan upah dan siksaan terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu bersih dari penyandaran keburukan dan kedzaliman, dari kekufuran dan kemaksiatan. Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim.[6]

Paham Mu’tazilah yang memberikan kebebasan dan berkuasanya manusia, akan lebih jelas lagi jika kita merujuk pernyataan para tokohnya. Wasil bin Atha misalnya. Dalam masalah ini, pendiri Mu’tazilah ini banyak persamaan dengan Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Menurut Wasil bin Atha, Allah subhanahu wa ta’ala itu adil. Tidak boleh menyandarkan kejelekan dan kedzaliman kepadaNya, dan tidak boleh [Dia] berkehendak agar hambanya menyelesihi perintahNya. Tuhan harus mengadili mereka kemudian membalas mereka atas perbuatan-perbuatannya. Maka hamba, kata Washil bin Atha, adalah yang mengerjakan kebaikan dan keburukan. Begitu juga iman, kufur, ta’at dan ma’siat itu pilihan manusia.[7] Senada dengan Washil, al-Juba’I juga mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al-Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[8] Begitu juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan[9] dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih.[10] Tuhan, menurut Abd al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadai karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjai mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.[11]

Dari beberapa keterangan tokoh Mu’tazilah di atas, jelaslah bahwa manusia dalam pandangan Mu’tazilah adalah pencipta perbuatannya. Kehendak berbuat adalah kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan Mu’tazilah dalam masalah ini hamper mirip, untuk tidak mengatakan sama, dengan pandangan Qadariyah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada yang menyebut Mu’tazilah itu adalah Qadariyah.[12] Bahkan Fazlur Rahman menyebut Mu’tazilah sebagai aliran bentukan dari pengembangan Qadariyah.[13] Meskipun demikian, sebenarnya dari awal Mu’tazilah menolak stigma tersebut. Sebagaimana disebut Syahratsani, bagi Mu’tazilah sebutan Qadariyah itu lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya Qadar Tuhan, baik dan buruknya.[14] Sedangkan Mu’tazilah itu menganut paham ikhtirariyyah (pilihan bebas).[15]

Kembali pada kehendak manusia. Menurut Harun Nasution, dari pemaparan para tokoh Mu’tazilah di atas, tidak dijelaskan apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah juga daya manusia sendiri, bukan daya Tuhan. Dalam hubungan ini, demikian Harun Nasution, perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah terwujud perbuatan. Harun kemudian menyimpulkan, bahwa bagi Mu’tazilah ternyata daya untuk mewujudkan itu adalah daya manusia bukan daya Tuhan. Ini bisa dilihat dari pernyataan Abd al-Jabbar sendiri. Menurutnya, yang dimaksdu dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan yang telah dibuat manusia. Tidaklah mungkin bahwa Tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang telah diwujudkan manusia.[16]

Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Jabbar kemudian memberikan argument rasional. Manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasihnya kepada manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesame manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia , perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima akal.[17]

Abd al-Jabbar tidak hanya menyodorkan argument rasional, tetapi dia juga menggunakan argument naqliyah (al-Quran) untuk menguatkan pendapatnya. Dalil (baca; argument) Naqliyyah yang dipakai Abd al-Jabbar dan kebanyakan Mu’tazilah di antaranya adalah; Qs. al-Baqarah: 108, Ali Imran: 133, al-Nisa: 79, al-Taubah: 82, al-Kahfi: 29, dan al-Taghabun: 2.[18]

Begitulah pandangan Mu’tazilah tentang kehendak dan perbuatan manusia. Bagi Mu’tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia sendiri, dan seperti kata Asy’ari, perbuatan manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kata kiasan. Dengan kata lain, manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatan-perbuatannya. Ini jelas sekali bertentangan dengan Ijma’ ulama tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Karena inilah, lawan-lawannya menuduh mereka mempunyai paham syirik atau polytheisme. Bahkan al-Asy’ari dan al-Maturudi menuduhnya tidak lagi membutuhkan Tuhan.[19]

Berbeda dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari, kata Harun Nasution, memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih dekat kepada paham Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (acquisition, perolehan).

Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb menurut al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari juga memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[20]

Tentang teori al-Asy’ari di atas, Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya, term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[21]

Pendapat al-Asy’ari seperti di atas, dapat dilihat dari urainnya mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsure; [pertama] penggerak yang mewujudkan gerak dan [kedua] badan yang bergerak. Penggerak dalam hal ini maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya adalah manusia. Yang bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk jasmani. Dari sinilah kemudian al-Asy’ari mengemukakan teori kasbnya. Menurutnya, al-Kasb juga serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai dua unsure; [pertama] pembuat (Tuhan) dan [kedua] yang memperoleh perbuatan (manusia). Pembuat yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.[22]

Menurut Harun Nasution, jika dilihat uraian al-Asy’ari di atas, jelaslah sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan involunter dan al-kasb. Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah sebagai tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika demikian, kata Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan Tuhan. Namun, bagi al-Asy’ari, demikian Harun Nasution, kadua hal itu berbeda. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielakkannya, walau bagaimanapun ia berusaha, namun dalam al-kasb paksaan yang demikian tidak teradapat.. Gerak manusia yang berjalan pulang pergi berlainan dengan gerak manusia yang menggigil karena demam. Meskipun keduanya sama-sama mengandung unsure gerak, namun tetap saja berbeda. Dalam hal yang pertama terdapat daya yang diciptakan, sedangkan dalam hal yang kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama teradapat daya, kata Asy’ari, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan; kepadanya diberi nama al-kasb. Begitupun, kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.[23]

Di sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan perbuatan itu apakah bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya itu ada sebelum perbuatan atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-Asy’ari, daya itu lain [berpisah] dari diri manusia sendiri, karena manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan; daya itu ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja.[24]

Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya; daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan.[25]

Itu argument-argumen al-Asy’ari secara rasional. Al-Asy’ari menggunakan dalil al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada Qs. al-Shaffat: 96,

Wa ma ta’malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy’ari “dan apa yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi al-Quran terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab tafsir bi al-Maksur, misalnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, karya Ibnu Katsir, maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan al-Asy’ari. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Bukhari dalam kitab Af’al al-Ibad yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah pencipta setiap pembuat (pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya).[26]

Namun, karena argument inilah al-Asy’ari banyak mendapat kritikan. Fazlur Rahman misalnya. Dia mengkritik al-Asy’ari baik karena argument naqlinya ini, ataupun teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-Kasb yang digunakan al-Asy’ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik. Menurut Rahman, al-Asy’ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata acquire daripada kata do berkenaan dengan manusia. Jawaban al-Asy’ari, sebab al-Quran pun begitu. [padahal] al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan jelas menggunakan kata “do” (fa’ala) dan “perform” (‘amala) berkenaan dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh al-Quran agak jarang digunakan. Al-Quran tampak mengunakan istilah ini ketika ingin menegaskan tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi membangkitkan rasa tanggung jawab terjadap perbuatan manusia, baik atau buruk. Karena itu, demikian Rahman, al-Asy’ari pasti melakukan penekanan terhadap makna al-Quran di sini.[27]

Sedangkan mengenai interpretasi al-Asy’ari terhadap Qs. al-Shaffat:96, disini pernyataan Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman, interpretasi al-Asy’ari terhadap ayat itu merupakan usaha yang sangat rasional untuk membuktikan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. [padahal] Ini merupakan bagian pembicaraan Ibrahim kepada orang-orang yang menyembah berhala. Saat itu, Ibrahim berkata pada mereka; “Apakah kamu menyembah apa yang kamu bentuk [pahat]? Jelas, kata Rahman, bahwa ayat ini juga menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi al-Asy’ari, demikian Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan kata-kata “apa yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa maa ta’malun, sangat rentan terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan interpretasi Asy’ari.[28]

Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi takanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.[29]

Begitulah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang free will dan predestination. Bagaimana dengan aliran lainnya? Bagi golongan Maturidiyah, perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan.[30] Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Sebelum berbuat, manusia memiliki kekuatan tertentu, yang termasuk kekuatan fisik dimana ia diberi. Tetapi untuk perbuatan actual, kekuatan alamiah ini disempurnakan dengan kekuatan lain, karena itu perbuatan itu perlu dan dengan serta mengikuti. Kekuatan kedua ini diciptakan oleh Tuhan melalui agen pada saat perbuatan.[31]

Pendapat Maturidi tersebut ada kemiripan dengan Asy’ariyah. Namun, substansi keduanya agak berbeda. Bagi Maturidi, yang namanya perbuatan itu ada dua, [pertama] perbuatan Tuhan dan [kedua] perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan Mu’tazilah. Perbuatan manusia, bagi Maturidi, adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hokum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya.[32]

Menurut Harun Nasution, Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pndapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuki berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya senidri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya.

Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahw kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.[33]

Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara, kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan ridha atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tiadak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.[34]

Bagaimana dengan Syi’ah? Sebenarnya agak sulit untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka terhadap free will dan predestination. Sebab, mereka sendiri sudah terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dan masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda. Namun, pembahasan sepintas secara umum mungkin akan memberi sedikit gambaran pada kita konsepsi mereka tentang masalah ini.

Al-Asy’ari dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin wa ikhtilaf al-Mushallin, menyebutkan beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan manusia. Sediktinya ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan, bawa Hisyam bin al-Hakam menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan manusia ini merupakan daya (ikhtiyar) manusia itu sendiri, karena dia itulah yang menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan manusia ini pun merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya, karena perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya sebab yang menggerakkan ataupun mendorong kea rah terjadinya perbuatan manusia tersebut.[35] Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya, Fazlur Rahman menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan Maturidi.[36]

Kedua; kelompok ini beranggapan bahwa manusia itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran jahmiyyah, tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Ketiga; yang ketiga ini beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu bukan diciptakan Allah. Yang beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul dari mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan.[37] Yang terakhir ini memiliki kemiripan dengan teologi Mu’tazilah.

Menarik untuk ditelusuri mengapa terjadi pertentangan di antara Sy’iah Rafidhah. Yang pertama seolah-olah cenderung kepada Maturidi, yang kedua pada Jahmiah dan yang ketiga pada Mu’tazilah? Mengapa terjadi pergeseran nilai teologi dalam masalah Qadar di Syi’ah? Bisa jadi ini dikarenakan ada pengaruh Mu’tazilah. Kita diberi tahu dari berbagai buku, bahwa antara Mu’tazilah dan Syi’ah ternyata memiliki hubungan yang erat sekali. Konon, Ja’far al-Shadiq adalah guru Washil bin Atha. Selain itu, sebagaimana disebutkan Fazlur Rahman, terjadi perubahan di Syi’ah setelah mereka kemasukan peninggalan Mu’tazilah pada abad ke-4/10. Apalagi setelah kemenangan –pada abad ke-12/18– kaum-kaum ushul.[38] Pada abad 7/13 ilmuwan dan filosof-teolog Syi’ah Nasir al-Din al-Tusi dan muridnya Ibnu al-Mutakhar al-Hilli menulis pengantar filsafat ke dalam teologi Syi’ah. Filsafat yang diformulasikan dengan teologi dalam Islam banyak dilakukan oleh Mu’tazilah. Semenjak itu, Syi’ah mengadopsi pandangan spiritual tentang hakikat Tuhan, menafsirkan pernyataan antropomorphis terhadap al-Quran dan Hadits ala Mu’tazilah. Ajaran Qadar pun berkembang lebih jauh di Syi’ah mirip dengan konsep Mu’tazilah.

Pandangan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah adalah tokoh refresentatif Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Karenanya, menarik untuk mengetahui pandangan dia terhadap free will dan predestination. Sementara Syaikh Shalih bin Fauzan adalah ulama khalaf yang concern dan capable di bidang Aqidah. Namun, pernyataan Shalih bin Fauzan di sini hanyalah kutipan penulis dari edisi terjemahan Tim Ahli Tauhid.

Bagi Ibnu Taimiyah, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah telah melakukan kekeliruan dan menyalahi mayoritas muslim seperti para imam empat dan para ulama salaf. Asy’ariyah hanya menegaskan irada (kehendak Allah), tetapi tidak menegaskan kebijaksanannya. Asy’ariyah hanya menegaskan segala kehendak Allah tanpa menegaskan kemurahan, cinta dan ikhlas. Begitu juga dalam perbuatan, mereka [Asy’ariyah dan filosof] menganggap semua makhluk sama di hadapanNya, tetapi tidak membedakan antara kehendak, cinta dan syukur. Tidak hanya para filosof, Ibnu Taimiyah juga sangat mengacam teolog dan sufi. Menurutnya, mereka telah melakukan kekeliruan. Mereka sebenarnya mengambil posisi yang jauh lebih buruk daripada Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung qadar (free will). Sebenarnya, orang-orang pendukung free will ini menyertakan kepentingan yang besar terhadap perintah dan larangan, janji dan ancaman, ta’at pada Allah dan RasulNya, dan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Namun, kata Ibnu Taimiyah, Mu’tazilah tersesat dalam masalah qadar. Mereka [Mu’tazilah] salah mempercayai bahwa jika mereka menegaskan kehendak kreatif Tuhan yang universal, segala kekuasaan dan kreativitasNya terhadap segala sesuatu itu berakibat penghinaan yang tak bisa disetujui terhadap keadilan dan kebijaksananNya. Mereka telah melakukan kesalahan dalam keyakinan.

Sedangkan para teolog dan sufi, semuanya menegaskan kemahakuasaan Tuhan. Mereka betul-betul percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya dan maha memiliki dan apa pun yang Ia kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini, kata Ibnu Taimiyah, baik dan benar. Tetapi mereka kurang dalam perintah dan larangan Tuhan; janji dan ancaman. Beberapa di antara mereka ada yang berlebihan, menjadi ekstrim dan terjebak dalam persoalan bid’ah. Kenyataannya, mereka menjadi mirip dengan musyrik yang mengatakan: “Jika Tuhan menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu apa pun (Qs. 6: 148).[39] Bagi Ibnu Taimiyah, orang yang menegaskan kekuasaan Tuhan kemudian menjadikannya sebagai sebuah pendapat untuk menghilangkan perintah dan larangan Tuhan, lebih buruk daripada orang yang hanya menegaskan perintah dan larangan, tetapi tidak menegaskan kekuasaan Tuhan.[40]

Lalu bagaimana sikap atau pandangan Ibnu Taimiyah terhadap masalah ini? Bagi Ibnu Taimiyah sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman, predeterminisme, boleh; tetapi menggunakannya sebagai argument untuk menjelaskan atau menutupi perbuatan dosa, itu tidak boleh.[41] Bagi Ibnu Taimiyah, masalah determinisme sebagai determinisme Tuhan yang komprehensif, merupakan obyek keyakinan dan bukan dasar dari suatu perbuatan.[42] Untuk memahami pernyataan itu, mungkin contoh berikut akan memudahkan kita memahaminya. Makalah saya ini bisa selesai dan rampung seperti sekarang ini, adalah merupakan kehendak Allah. Tetapi sampai makalah ini benar-benar terjadi, benar-benar beres, saya tidak tahu apa kehendak Allah dengan makalah saya ini. Oleh karenanya, atribusi saya untuk perbuatan saya atau perbuatan apa pun tidak dapat secara tepat dihubungkan pada Allah sampai itu menjadi masalah yang telah berlalu.

Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui olehNya. Allah tidak pernah menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak melahirkan kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya dari sudut pandang sebagai keburukan yang murni, tetapi ia masuk dalam renteten makhluknya. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk kedalam sifat Allah dan tidak juga de dalam perbuatanNya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditujukkan dalam firmanNya: yang artinya.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dari sendiri” (An-Nisa: 79).

Maksud (ayat itu) adalah segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak sorang pun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala pencipta manusia. Tidak ada yang terjadi di dalam kerajaanNya ini melainkan apa yang dia kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekuturan untuk hambaNya. Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas kemampuannya dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya tentang amal perbuatan mereka.[43]

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyalahkan nasib, berdiam diri menghadapi hidup ini. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah justru menyuruh umat Islam untuk melakukan berbagai aktifitas dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Jadi tidak benar jika teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar menjadi penyebab mundurnya peradaban Islam, menjadi penyebab mundurnya umat Islam. I’maluu faiinnahu kullu muyassarun, ikhrish ‘alaa ma yanfa’uka wa laa ta’juz. Wallahu Muwafiiq ilaa Aqwam al-Thariq.


[1] Lihat umpamanya Nurkhalis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1996, cet. 3, hal. 14. Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000, Cet. I, hal. 62, selanjutnya disebut Gelombang Perubahan dalam Islam.

[2] Geroge Balandes, Antropologi Politik, Bina Aksara, Jakarta: 1986, hal. 152-3

[3] Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta: 2002, Edisi Kedua, Cet. I, hal. 33. Dr. Hasan Zaini MA, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta: 1997, cet. I, hal. 60. selanjutnya disebut Tafsir Tematik.

[4] Sebagaimana dijelaskan para sejarawan Muslim, Qadariyah merupakan aliran yang didirikan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Ma’bad merupakan orang yang ikut serta dalam pemberontakan terhadap Ibnu al-Ash’ath. Karena inilah, dia diadili pemerintahan Abdul Malik dan dieksekusi mati karena mempunyai paham Qadariasme. Menurut Fazlur Rahman, sangat mungkin ia dieksekusi mati dikarenakan paham Qadariyahnya dijadikan dalih untuk memberontak. (Fazlur Rahman, Op,Cit, hal. 58-59) keterangan serupa diberikan Harun Nasution. Menurutnya, Ma’bad ikut lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur Sijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. (Teologi Islam, hal. 34) Sedangkan Ghilan al-Dimsyaqi dieksekusi mati di bawah pimpinan Umayyah Hisyam bin Abdul Malik. Dia mati dikarenakan hal yang sama, yakni masalah politik. Dia juga dituduh menyebarkan propaganda melawan pemerintahan ketika di angkatan darat pada sebuah ekspedisi di Armenia. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 58) Data ini menjadi bukti untuk mengatakan Qadariyah sebagai aliran teologi yang cenderung pada politik, bukan aliran pemikiran murni. Bukan sebagai sebuah Madzhab. Sementara Jabariyah, ada yang menarik di sini. Fazlur Rahman berbeda dalam hal ini dengan Harun Nasution. Al-Jad bin Dirham yang oleh Harun Nasution dikatakan sebagai peletak dasar Jabariyah (Teologi Islam, hal. 35), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pendukung Qadariyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 58). Saya buka bukunya al-Syahratsani, ketika membahas Jabariyah, beliau tidak menyebut al-Jad bin Dirham. Syahratsani justru memasukan Jahm bin Sofyan dalam urutan utama tokoh Jabariyah. (lihat al-Imam Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, al-Juz al-Awwal, Tahqiq. Al-Ustad al-Syaikh Ahmad Fahmi Muhammad, Dar al-Surur, Bairut, Libanon: 1368 H/1948, Cet. I, hal. 112-113). Namun, kendati Fazlur Rahman dan Harun Nasution berbeda, data dari Fazlur Rahman menarik untuk kita ketahui. Menurut Rahman, al-Jad bin Dirham mempunyai hubungan dekat dengan cucu Marwan, Marwan bin Muhammad. Bahkan al-Jad bin Dirham ini adalah guru pribadi Marwan bin Muhammad. Cucu Marwan ini kata Fazlur Rahman adalah pengikut al-Jad bin Dirham. Pengaruh dia terhadap Marwan bin Muhammad sungguh begitu banyak. Marwan bin Muhammad sendiri adalah gubernur Jazira yang kemudian menjadi khalifah terakhir bani Umayyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 59). Jika kita menerima al-Jad bin Dirham sebagai pendiri Jabariyah, maka kita bisa menyimpulkan bahwa paham ini cenderung pada gerakan politik. Paham ini menjadi legitimasi politik Bani Umyyah.

[5] Mu’tazilah, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, merupakan madzhab [aliran pemikiran murni], bukan aliran politik. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 57). Mereka, kata Rahman, tidak seperti Khawarij. Mereka diam dalam masalah politik karena mereka hanyalah aliran pemikiran. (ibid, hal. 64). Memang para tokoh Mu’tazilah pada awalnya tidak pernah aktif dalam dunia politik. Al-Manshur misalnya, pernah mengajak Ibnu Ubaid dan kelompoknya yang berfaham Mu’tazilah untuk membantunya membantu pemerintahan. Namun mereka menolaknya. (Lihat dalam catatan kaki Dr. Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Tela’ah Atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Pena Merah, Bandung: 2004, Cet. I, hal. 16. Selanjutnya disebut Dari Teologi Ke Ideologi). Akan tetapi, pada akhirnya Mu’tazilah juga terseret juga dalam masalah politik, terutama pada masa Abbasiyyah. Bahkan mereka pernah dijadikan Madzhab resmi Negara oleh al-Ma’mun.

[6] al-Milal wa al-Nihal, hal. 59

[7] ibid, hal. 62

[8] Ibid, hal. 105

[9] Orang Mu’tazilah biasanya memakai kalimat yahluqu (menciptakan) terhadap perbuatan manusia. Namun, disni penulis merasa ada kerancuan; sebenarnya kata apa yang digunakan al-Qadh Abd al-Jabbar? Apakah ini kesalahan Harun Nasution dalam mengartikan? Atau memang, Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu. Jika Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu, berarti ini bertentangan dengan pendapat mayoritas tokoh Mu’tazilah. Sebab, jika dikatakan menghasilkan, berarti ada sesuatu yang mendorong sesuatu itu dihasilkan. Jika dikatakan daya manusialah yang menciptakan perbuatan, ini juga aga rancu, sebab Abd al-Jabbar juga menyatakan daya itu bersifat baharu. Artinya daya juga diciptakan. Namun, seandainya Abd al-Jabbar meyakini bahwa daya yang baharu itu diciptakan oleh manusia bukan oleh Tuhan seperti yang dikatakan Harun Nasution, kerancuan itu bisa hilang.

[10] Teologi Islam, hal. 103

[11] Dari Teologi Ke Ideologi, hal. 22 Kalimat wajib yang dipakai oleh Mu’tazilah telah menjebaknya kepada pengurangan kehendak Mutlak Allah. Jika dikatakan “Allah wajib…” artinya di sini Mu’tazilah telah memaksakan kategori manusianya sendiri di atas Tuhan yang harus melakukan ini dan tidak melakukan itu. Padahal, penurunan wahyu, petunjuk, aturan dan mengirim rasul-rasul-Nya adalah merupakan rahmat dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala.

[12] Teologi Islam, hal. 103

[13] Gelombang Perubahan Dalam Islam, hal. 58

[14] al-Milal wa al-Nihal, hal. 58.

[15]Dari Teologi Ke Ideologi, hal. 23

[16] Ibid, hal. 104

[17] ibid, hal. 105

[18] Tafsir Tematik, hal. 62. Untuk mengetahui interpretasi Abd al-Jabbar terhadap ayat-ayat tersebut lihat Tafsir Tematik, hal. 64-65

[19] Teologi Islam, hal. 107. Kata “menuduh” dikutip langsung dari tulisan Harun Nasution.

[20] Ibid, hal. 107-8

[21] Ibid

[22] ibid, hal. 108-9

[23] ibid

[24] Ibid, hal. 111

[25] ibid, hal. 112

[26] al-Imam al-Hafidz ‘Imaad al-Din Abu al-Fida Isma’il bin Katsir al-Qaraisy al-Dimsyaqi, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, al-Juz al-Raabi’, Dar al-Jail, Bairut: 1411 H/1991 M, hal. 15

[27] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 78

[28] ibid, 78-79

[29] Dari Teologi ke Ideologi, hal. 26

[30] Teologi Islam, hal. 112

[31] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 87-8. kekuatan kedua yang diciptakan disini maksudnya adalah daya. Bandingkan dengan pemaparan Hasan Zaini, Op,Cit, hal. 67-68

[32] Teologi Islam, hal. 113

[33] ibid

[34] ibid

[35] Abu Hasan Isma’il al-Asy’ari, Tahqiq, Prof. Dr. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, I, Alih Bahasa, Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat, Pustaka Setia, Bandung: cet. 1, 1998, hal.101. selanjutnya disebut Prinsip-prinsip Dasar.

[36] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 89

[37] Prinsip-Prinsip Dasar, hal. 101-102

[38] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 89

[39] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, vol. 8, hal. 98-99, dikutip dari Fazlur Rahman, Op,Cit, hal. 211-12

[40] ibid, hal. 213

[41] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 218

[42] ibid, hal. 220

[43] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, Dar al-Haq, Jakarta: 2003, cet. V, hal. 157-158

http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/free-will-dan-predestination/