Jumat, 18 November 2011

Sejarah Peradaban islam

Islamisasi jawa

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
SEJARAH PERADABAN ISLAM INDONESIA
Yang  diampu oleh Bapak Drs.H.Nor Hasan, M.Ag.


STAINColor


Disusun Oleh: Kelompok 1
Ainun Najib               : 18 2010 01 01 0048
Ainur Rohman          : 18 2010 01 01 0049
Ahmad Jaelani          : 18 2010 01 01 0039
Wardatul Jamila       : 18 2010 01 01 0603


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2011/2012
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat dan hidayahNya atas kami untuk menyeesaikan tugas makalah ini, karena tanpa rahmat dan petunjuknya kita tidak akan pernah terpanggil intuk melakukan apa yang telah menjadi tanggug jawab kita sehari-hari.
Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita baginda Rasulillah yang telah mengangkis kita dan mengantarkan kita pada jalan yang lebih terang dan penuh dengan cahaya yaitu alam islam seperti yang telah kita rasakan saat ini. Pertama kami ucapkan banyak terima kasih kepada yang telah membantu dan turut berperan dalam penyelesaian makalah ini, baik bantuan yang berupa pinjaman buku dan sumbang pikiran sehingga tugas ini mampu kami selesaikan tepat pada waktunya, akan tetapi karena manusia tak lepas dari kekhilafan maka atas kekurangan dan kertebatasan kami mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun. Sekali lagi ucapan terima kasih atas bantuannya dan atas perhatiannya kami ucapkan banyak terima kasih.
Wassalam………..
                                                                                                             

Penyusun


Kelompok I



DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………...……………………i
Daftar Isi………………………………………………………...……………….ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………...…………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………..…………...1
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Sebelum Islam Masuk ke Jawa……………………………………..2
B.     Awal Perkembangan Islam di Jawa………………………………...3
C.     Asal Mula Walisongo………………………………………………..4
D.    Tokoh-tokoh serta riwayat Walisongo……………………………...5
E.     Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam…………………………...9
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..10
B. Saran…………………………………………………………………10
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Menurut cerita rakyat  dan pandangan umum berlaku dalam sastra jawa, islam datang dan menyebar di jawa adalah berkat jasa Sembilan pendakwah yang tergabung dalam suatu dewan yang disebut wali songo.
Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati masyarakat dan hingga sekarang ini kuburan mereka masih tetap merupakan tempat penting bagi peziarah muslim seluruh Indonesia. Kisah kehebatan mereka masih terus diceriterakan ulang, dicetak dalam buku, dikisahkan dalam ceramah-ceramah keagamaan. Pada tahu 1980 bahkan sejumlah film dibuat, mengisahkan kejadian ajaib serta kegiatan mereka dalam menyebarka agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi masyarakat Jawa sebelum islam masuk dan bagaimana awal perkembangannya?
2.      Siapakah Masyarakat jawa itu?
3.      Siapakah yang pertama kali menyiarkan agama islam di tanah jawa?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok walisongo itu?
5.      Mengapa dari semua wali yang Sembilan itu, di depan nama mereka ada julukan sunan!


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Sebelum Islam Masuk ke Jawa
Dalam antropologi budaya kita dapat mengenal beragam suku dan budaya, salah satunya adalah masyarakat atau suku Jawa. Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun-temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa tengah dan Jawa timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad ke XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan Raja-raja Jawa (Kodiran, 1976).
Syi’ar islam diluar pulau Jawa tidak begitu mengalami hambatan, hampir disemua Daerah hanya dihadapkan pada budaya lokal dan islam mendapat dukungan dari Para penguasa setempat. Berbeda dengan di Jawa yang sarat dengan budaya  asing. Islam masuk ke Jawa harus menghadapi masyarakat jawa yang penuh dengan budaya mistis, bangunan kepercyaan  Animisme-Dinamisme dan agama Hindu-Budha yang  sudah mengakar. Dakwah islam untuk berapa  abat  tidak mampu menembus dinding istana  yang masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Budha Kejaen. Berbeda dengan syiar  islam diluar Jawa (seperti di Aceh), Agama Islam segera diterima oleh pihak kerajaan (Raja Samodra Pasai) sejak abad ke-XIII (Boechari, 1971:9).
Masyarakat Jawa sebelum datangnya agama-agama asing dari luar, telah memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan adanya kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur (animis-dinamis), mengembangkan kebudayaan berburu dan meramu,  menangkap ikan, membuat perahu lesung dan kapak berbentuk cakram sejak zaman pra-sejarah, (Koentjaraningrat, 1984:17). Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindu-Budha) juga mengajarkan mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh orang Jawa.
Datangnya bangsa India yang membawa kepercayaan dan peradaban baru membuat kebudayaan Jawa semakin berkembang bukannya tersisih. Ajaran Hindu-Budha dari India tersebut membuat makin memperhalus peradaban dan tradisi Jawa, tradisi Jawa yang serba magis-mistis. Kesesuaian ajaran inilah yang membuat ajaran Hindu-budha mudah dan cepat dicerna oleh masyarakat Jawa. Agama baru ini (Hindu-Budha) berkembang dengan pesat, mengakar dalam segala lapisan kehidupan, sampai-sampai diyakini sebagai budaya Jawa asli.
Masuknya agama islam ke tanah Jawa, yang dibawa oleh kaum ulama’ sufi (mistikus islam), untuk beberapa abad tidak mampu menembus lingkungan kerajaan atau keraton yang masih di pagari dengan kepercayaan Hindu-Kejawen. Sehingga dakwah islam yang dilakukan oleh para sufi dari daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh dari lingkungan kerajaan. Masyarakat pesisir yang cenderung memiliki watak egaliter, tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung menerima ajaran islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia.[1] Berawal dari sinilah, keberhasilan dakwah islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat mausia disebut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan dianggap sebagai penerang dari kegelapan. Tidak ada perbedaan antara rakyat dan pejabat, semua manusia sama derajatnya di sisi Allah SWT.
Dalam perkembangan dakwahnya, islam akhirnya berhasil menjadi bagian hidup masyarakat pesisir, yang kemudian melahirkan komunitas baru yang erpusat dipesantren disepanjang pesisir pantai. Puncak keberhasilan dakwah islam ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak dan Rajanya yang pertama Raden Patah. Kerajaan demak tersebut sebagai pewaris kerajaan Majapahit, peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan Jawa-Islam berkat perjuangan para ulama Sufi yang bergelar Wali Tanah Jawa (Walisongo). Pada masa kerajaan Demak dakwah dilakukan secara aktif oleh Walisongo, dalam menghadapi masyarakat yang komplek para Wali mengambil kebijakan-kebijakan khusus. Islamisasi dimulai dari kalangan Istana dan tradisinya, sampai pada seni, budaya dan sastra.
Runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan berdirinya kerajaan Jawa-Islam demak menjadikan agama islam subur di kalangan Istana, menjadi bagian hidup para Priyayi dan cendikiawan Jawa.
  1. Awal Perkembangan Islam di Jawa
Eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan berbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak, terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.[2]

C.     Asal Mula Walisongo
Di kalangan masyarakat jawa, sebutan walisongo merupakan sebuah nama yang sangat terkenal dan mempunyai arti khusus, yakni digunakan untuk menyebut nama-nama tokoh yang dipandang sebagai mula pertama penyiar agama islam di Tanah Jawa.[3] Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.[4]
Kata Walisongo merupakan sebuah perkataan majemuk yag berasal dari kata wali dan songo. Kata Wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari Waliyullah, yang berarti “orang yang mencintai dan dicintai Allah”. Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, dengan demikian, Walisongo berarti Wali Sembilan, yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh islam yang bertugas mengadakan dakwah islam di daerah-daerah yang belum memeluk agama islam di Jawa.mengenai terminologi Walisongo ini, Prof. Kyai Haji Raden Mohammad Adnan pernah mengajukan pendapat, bahwa perkataan “songo” dalam terminologi Waliongo merupakan perubahan dari perkataan sana yang berasal dari perkataan bahasa Arab, tsana yang searti dengan Mahmud, artinya “yang terpuji”. Dengan demikian, Walisongo berarti “wali-wali yang terpuji”. Dan pada kenyataannya dalam khazanah kepustakaan naskah sejarah tradisional yang berasal dari tanah Jawa, kita memang menemui beberapa buah naskah yang berjudul Wali Sana. Namun demikian tidak berarti bahwa perkataan Walisongo menurut Amin Budiman berasal dari perkataan Wali sana, karena menurutnya perkataan Walisongo  benar-benar berarti Wali Sembilan.
Dalam alam pemikiran masyarakat Jawa angka sembilan memang mempunyai arti khusus, seperti Nampak dalam pandangan orang Jawa kuno mengenai klasifikasi alam dunia ini tidak ubahnya dengan angka delapan. Oleh karena itu, jika masyarakat Jawa sampai mempunyai konsep Walisongo, lahirnya konsep ini tidaklah mengherankan dan skaligus menunjukkan kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan “songo” dalam terminologi Walisongo tidak lain adalah “Sembilan”, bukan perubahan dari kata “sana” yang berasal dari perkataan Arab “tsana” yang berarti “yang terpuji”. Konsep Walisongo yang berarti wali sembilan tidaklah mustahil mengingat angka sembilan merupakan angka yang mempunyai nilai mistik pada masyarakat jawa yang semua menganut agama Hindu dan Budha.
Angka sembilan merupakan angka mistik pada masyarakat Jawa sebelum islam didasarkan pada faham klasifikasi bahwa manusia dan alam semesta mempunyai hubungan yang erat. Seluruh benda-benda di alam ini masing-masing mempunyai (kosmos) tempatnya sendiri yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam klasifikasi ini angka tertentu mempunyai kekuatan ghaib sebagai akibat bahwa angka itu terpengaruh oleh tertib kosmos. Orang Jawa percaya bahwa alam semesta ini diatur dan dipimpin serta dilindungi oleh Dewa-dewa yang bertahta di seluruh mata angin. Ada delapan Dewa pelindung mata angin dan satu Dewa sebagai penjaga dan pelindung arah pusat, sehingga keseluruhannya ada Sembilan.[5] Dewa-dewa itu adalah


Utara
Timur laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat daya
Barat
Barat laut
Pusat
Di Jawa
Kuwera
Icana
Indra
Agni
Kama
Surya
Varuna
Vayu
Ciwa
Di Bali
Vishnu
Iswara
Cambu
Maheswara
Brahma
Rudra
Mahadewa
Changkara
Ciwa

Meskipun sesungguhnya Wali penyebar agama islam di Jawa tidak hanya sembilan orang tetapi mereka memilih jumlah itu hanya sekian, hal ini berhubungan erat dengan dasar klasifikasi yang sudah mereka miliki. Walisongo dipersamakan dengan Dewa-dewa penjaga mata angin dalam fungsinya sebagai penjaga dan pelindung masyarakat dan agama islam di segenap tanah Jawa.[6]
Kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah Jawa" telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.[7]
D.    Tokoh-tokoh serta riwayat Walisongo
Umumnya orang berpendapat bahwa yang termasuk kelompok Walisongo adalah sebagai berikut:
1.      Syekh Maulana Malik Ibrahim(Syekh Maghribi)
Ada yang menyebutkan beliau berasal dari Gujarat India, ada pula yang mengatakan beliau berasal dari Arab dan masih keturunan dari Zainal bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syekh maulana malik Ibrahim tiba di gresik pada tahun 1368 M. semula beliau menetap di kampung Leran (kira-kira 9 km dari kota Gresik), kemudian pindah ke desa Romo dan akhirnya menetap di kampong Gapura Gresik sampai meninggal dunia. Cara yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim dalam berdakwah adalah dengan jalan mempererat pergaulan dengan penduduk pribumi. Beliau tidak menentang adat istiadat yang sudah mengakar dalam masyarakat.
2.      Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Beliau adalah seorang wali yang banyak berjasa dalam menyebarkan agama islam. Beliau juga saudara misan maulana malik Ibrahim dan saudara kandung maulana ishak, ayah sunan Giri.
Raden rahmatullah menetap di ampeldenta Surabaya. Di tempat inilah beliau mendirikan pondok pesantren, sebagai tempat mendidik pemuda-pemuda islam yang dipersiapkan sebagai kader mubaligh yang kelak dikirim ke berbagai daerah di pulau Jawa.
3.      Sunan Giri (Raden Paku)
Nama lain beliau adalah Muhammad ainul Yaqin yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan Sunan Giri. Sebutan lainnya adalah prabu satmata atau sultan abdul faqih.
Pada masa remaja, beliau belajar ilmu agama islam di pondok pesantren ampel denta. Beliau berguru kepada raden Rahmatullah dan menjadi murid yang berbakat bersama maulana makdum Ibrahim. Karena kepandaiannya itu, keduanya di kirim Oleh raden rahmatullah ke pasai. Setelah selesai menuntut ilm di sana merekapun kembali ke tanah jawa untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmunya. Sekembalinya dari pasai , raden paku membangun pondok pasantern di sebuah bukit yang sekarang di kenal dengan nama giri (giri=gunung).
4.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Djati adalah keturunan raja-raja Sunda (dari garis ibu) dan penguasa atau ulama dari tanah Arab (dari garis ayah). Ia lahir, dibesarkan dan dididik di tanah Arab, kemudian datang ke Pulau Jawa, tanah leluhurnya dari garis ibu. Atas persetujuan para penyebar agama Islam di Pulau Jawa.[8]
5.      Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan bonang adalah seorang putra dari sunan ampel, beliau dilahirkan pada tahun 1465 M. pada masa hidupnya maulana makdum Ibrahim menyebarkan agama islam di daerah jawa timur, terutama daerah tuban dan sekitarnya. Beliau mengikuti jejak ayahnya mendidik dan menggembleng kader-kader islam guna ikut menyiarkan agama islam.untuk itu beliau mendirikan pesantren di tuban.
6.      Sunan Drajat (Syarifuddin)
Syarifuddin adalah putra ketiga raden rahmatllah. Seperti ayahnya, beliau aktif mengembangkan agama islam di jawa timur, terutama di daerah pesisir utara. Dalam menjalankan dakwahnya, beliau beliau tidak segan-segan memberikan pertolongan kepada kesengsaraan umum, menolong anak yatim piatu, orang-orang sakit dan para fakir miskin. Disamping memberikan keteladanan, beliau juga menganjurkan agar sesama muslim suka tolong menolong, sehingga kehidupan fakir miskin yang kekurangan dapat dibantu.
7.      Sunan Kalijaga (raden mas syahid)
Diantara para wali lainnya, raden mas syahid dikenal sebagai seorang pemimpin, pejuang, pujangga, dan filosof. Dalam berdakwah beliau banyak mempergunakan pendekatan budaya dan adat istiadat sebagai saranaya. Kebiasaan dan adat istiadat sebelum islam diubah secara berangsur-angsur dan diisi dengan ajaran islam. Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung Jabalkat.[9]
8.      Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Ja’far shadiq (sunan kudus) adalah putra dari raden utsman haji yang bergelar sunan ngudung di jipang panolan di sebelah utara blora, salah satu putra sunan ampel. Jadi, ja’far shadiq adalah cucu dari sunan ampel.
Semasa hidupnya, ja’far shdiq mengajarkan agama islam di jawa tengah bagian utara, khususnya di kudus dan sekitarnya. Beliau di kenal sangat alim dalam ilmu agama, terutama ilu tauhid, hadits, ushul, mantiq dan fiqh. Oleh karena itu beliau di beri gelar waliul ilmi.
Beliau juga di kenal seorang pujangga dan ahli sastra. Beliau banyak mengarang cerita yang berjiwa agama. Beliau yang menciptakan gending maskumambang dan mijil. Jabatan lain yang di emban oleh ja’far shadiq adalah menjadi senopati dari kerajaan demak.
9.      Sunan Muria (Raden umar sa’id)
Beliau salah seorang putra sunan kalijaga, beliau kawin dengan putri sunan ngudung yang bernama dewi sujinah.
Cara beliau berdakwah ialah dengan mengadakan kursus-kursus keagamaan kepada para pedagang, nelayan, laut dan rakyat di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian, terutama di daerah sekitar lereng gunung muria, kira-kira 18 km dari kudus. Beliau juga di kenal sebagai sorang wali yang tetap mempertahankan berlangsungnya kesenian jawa dan mempergunakannya untuk kepentingan dakwah.[10]
Susunan yang sembilan ini kemudian berubah-ubah karena adanya pendapat yang berbeda-beda, antara lain:
Ø  Tidak dimasukkannya Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang dari Walisongo, mengingat masa hidupnya tidak bersamaan dengan para Wali yang lain, beliau wafat tahun 1419 M.
Ø  Juga Sunan Ampel masa hidupnya lebih dahulu daripada Wali yag lain: karena adanya pendapat bahwa terbentuknya Walisongo adalah setelah Raden Rahmat Wafat.
Ø  Adanya perbedaan pendapat mengenai Wali Sunan Gunung Jati. Apakah itu yang disebut Syarief Hidayatullah atau Fatahillah/Faletehan.
Ø  Sunan Muria itu apakah yang disebut Sunan Prawoto atau Raden Syahid, dan sebagainya.

  1. Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
     Agama islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Kepulawan Nusantara. Dalam penyebaran islam ini, peran kaum sufi amat menonjol. Serta melayu islam yang merupakan pula munculnya syair dalam sastra Indonesia adalah karya Hamzah Fansuri, seseorang ulama sufi akhir abat ke-16 M. Peralihan kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam Demak tidak lepas dari pengaruh dan peran ulama sufi yang mendapat gelar para Wali Tanah Jawa. Kemudia munculnya sastra Jawa yang memuat ajaran-ajaran  keislaman yang masih  terpelihara juga merupakan sastra sufi yang di susun pada  abat  ke-16 M. sementara di Jawa, islam menghadapi suasana dan kekuatan budaya yang telah berkembang secara kompleks dan halus yang merupakan hasil penyerapan unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme yang di pertahankan oleh cendikiawan serta penguasa kerajaan-kerajaan Jawa. Maka di Jawa, penyebaran islam berhadapan dengan dua jenis kekuatan lingkungan budaya. Pertama, kebudayaan para petani lapisan bahwa yang menyerupakan bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat istiadat yang di Jiwa oleh religi Animisme-Dinamisme. Kedua, kebudayaan istana yang merupakan tradisi agung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Budha yang memperkaya serta memperhalus budaya dan tradisi lapisan atas.
Islam datang ke Indonesia dan di Jawa khususnya mendatangkan perubahan dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Demikian pula islam memperkenalkan mekah sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya kebudayaan pesisiran dan membudayakan peta geografis.
Ada satu hal yang amat menarik berkaitan dengan berdirinya kesultanan Demak sebagai kerajaan Jawa-Islam, yakni menjadi titik mula pertemuan antara lingkungan budaya istana yang brsifat Hindu Kejawen dengan lingkungan budaya pesantren.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun-temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut.
Walisongo atau Sembilan wali adalah Sembilan mubaligh yang mempunyai pengaruh sangat besar dan sangat berjasa dalm menyebarkan agama islam di pulau Jawa dan sekitarnya pada abad ke-15 dan 16 M. ereka datang dari berbagai negeri dan hadir di tengah-tengah masyarakat untuk berdakwah dan menyebarkan agama islam. Perjuangan para wali itu kemudian diteruskan oleh para ulama’ dengan mendirikan pondok-pondok pesantren, sehingga tersebarlah agama islam di seluruh pesantren plosok nusantara kita ini.
B.     Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Islamisasi Jawa, agar membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja. Demikianlah uraian singkat yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan pembahasan ini dapat memberikan pengetahuan bagi kita.
Oleh karena itu kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Kesempurnaan hanya milik Allah. Kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini kami harapkan. Dan semoga bagi yang membaca makalah ini memperoleh manfaat dan hidayah oleh Allah SWT, sehingga dapat mengambil hikmah dari makalah kami tersebut.


Daftar Pustaka
Khalim, Samidi. Islam & Spiritualitas Jawa, Rasail Media Group, Semarang, 2008
http://www.islamlib.com/id/artikel/rekonstruksi-sejarah-masuknya-islam-ke-jawa
Sofyan, Ridin. Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam Di Jawa, Menurut Penuturan Babad), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.1,2000 Cet.2, 2004.
http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/10/sunan-gunung-djati-dan-islamisasi-jawa-barat/(20-09-2011)
Zaen, Warry. Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Sesuai GBPP 1994, Lembaga Pendidikan Maarif NU, Jawa Timur, 1996
Hoadley, Mason. Islam Dalam Tradisi Hukum Jawa, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam, Yayasan Bentang Budaya Sambilegi Baru, Yogyakarta, hlm.116-145


[1] Samidi Khalim, M.Ag., Islam & Spiritualitas Jawa, RaSAIL Media Group, Semarang, 2008, hlm.4-9
[2] http://www.islamlib.com/id/artikel/rekonstruksi-sejarah-masuknya-islam-ke-jawa(30-09-2011)
[3] Ridin sofyan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam Di Jawa, Menurut Penuturan Babad), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.1,2000 Cet.2,2004.,hal:
[4] http://www.facebook.com/note.php?note_id=42829604927(20-09-2011)
[5] Ridin sofyan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam Di Jawa, Menurut Penuturan Babad), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.1,2000 Cet.2,2004.,hal:20-21
[6] Samidi Khalim, M.Ag., Islam & Spiritualitas Jawa, RaSAIL Media Group, Semarang, 2008, hlm.4-9
[7] http://www.facebook.com/note.php?note_id=42829604927(20-09-2011)
[8] http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/10/sunan-gunung-djati-dan-islamisasi-jawa-barat/(20-09-2011)
[9] Ibid.(20-09-2011)
[10] Drs. H. Warry Zaen, M.Pd. Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Sesuai GBPP 1994, Lembaga Pendidikan Maarif NU, Jawa Timur, 1996
[11] Dr.Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam, Yayasan Bentang Budaya Sambilegi Baru, Yogyakarta, hlm.116-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar